PONDOK PESANTREN AL-QODIRI 1 JEMBER

LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS PESANTREN

Ketik Kata Kunci

CIKAL BAKAL LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA

Selasa, 24 September 2019, Selasa, September 24, 2019 WIB Last Updated 2019-09-25T00:01:46Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

CIKAL BAKAL LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA
Re-written by : Fikri Farikhin
“Berkah lahirnya Nahdlatul Ulama, ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah cepat berkembang ke pelosok-pelosok desa”
[KH. Maimoen Zubair]
Nahdlatul Ulama lahir sebagai penerus estafet dari apa yang diperjuangkan oleh Walisongo yang menjadi penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Yaitu, Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Ajaran yang diemban oleh Walisongo ini mengikuti irama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dilestarikan dari generasi ke generasi selanjutnya, seperti tradisi yang ada di Masjid Sunan Ampel dan Masjid Demak, serta amalan-amalan dari banyaknya mayoritas umat Islam di Nusantara khususnya Pulau Jawa, yang kebanyakan beraliran Sunni dengan mengikuti Madzhab Syafi’I dalam masalah kajian fiqihnya, dan Abu Hasan al-Asy’ari dalam masalah teologinya.
Ajaran Islam yang dibawa oleh Walisongo mudah diterima oleh masyarakat Jawa sebab toleransinya dengan adat atau budaya lokal. Dengan sangat bijak, para penyebar Islam di Jawa tidak serta merta menghakimi hal dan haram. Akan tetapi, mereka mendekati pribumi dengan cara persuasiasif dan mengakulturasikan budaya yang ada dengan ajaran Islam. Hal ini, dengan catatan budaya yang ada tidak bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syariat Islam. Jika tidak dapat ditolerir, maka dengan penuh kehalusan para Walisongo menghilangkan unsur-unsur yang dianggap bertentangan dengan Islam, lalu memasukkan unsur Islam secara bertahap demi setahap, sehingga jadilah kebudayaan atau adat tadi dicap sudah diislamkan. Seperti halnya, sesaji yang asalnya diberikan kepada roh halus, maka oleh penyebar Islam modelnya diganti. Yaitu, cara digunakan untuk sedekah dengan mengundang sanak kerabat dan handai tolan untuk berkumpul di rumah shahibul bait, lalu hidangan yang biasanya diberikan kepada roh halus diganti dengan disedahkan kepada yang hadir tadi. Mantra-mantra yang berisikan ucapakan syirik diganti dengan doa-doa dan kalimat at-thayyibah. Sehingga, dengan pendekatan yang seperti ini penduduk lokal tidak mudah tersinggung dengan ajaran yang dibawa oleh penyebar agama Islam.
“Adat bersendi syariat, dan syariat bersendi kitabullah”, itulah semboyan sebagian masyarakat Islam Melayu di Nusantara. Akan tetapi, bangunan kokoh ini mulai retak, ketika Hijaz dikuasai oleh Kaum Wahhabi untuk pertama kalinya. Mereka ingin menyebarkan purifikasi dalam menjalankan agama, sebab mereka menganggap apa yang sudah terbangun kokoh itu penuh dengan bid’ah dan khurafat, sehingga seolah-olah mereka paling suci tanpa mau menengok ke kanan dan ke kiri.
Kaum Wahhabi yang pandegani oleh Muhammad bin Sa’ud dan Muhammad bin Abdul Wahhab telah melakukan pertempuran panjang untuk merebut Hijaz, sekitar 15 tahun, terhitung sejak 1205 H / 1790 M hingga 1220 H / 1805 M. Setelah itu, Haramain dapat dikuasai oleh golongan Wahhabi. Banyak sekali kekejaman yang ditimbulkan oleh Kaum Wahhabi, semisal merusak kubah dan makam yang ada di Ma’la serta Jabal Qubais. Muhammad bin Abdul Wahhab telah menghancurkan kubah makam Zaid bin Khatta yang berada di Unayyah yang diamiri oleh Utsman bin Muammar dan di Thaif, dia telah merobohkan makam Abdullah bin Abbas. Serta, di Ma’la, Muhammad bin Abdul Wahhab meratakan kubah makam Khadijah al-Kubra istri pertama Rasulullah SAW. Mereka juga melarang amalan-amalan yang dianggapnya dapat mengakibatkan syirik dan bid’ah seperti ziarah kubur, tawassul dan lain-lain, serta mereka banyak membunuh orang-orang yang tidak bersalah terlebih yang dianggap tidak sesuai dengannya.
Karena fitnah yang ditebarkan kelompok Wahhabi sangat berbahaya, maka Sultan Mahmud, Penguasa Turki mengutus wazirnya yang ada di Mesir, yaitu Muhammad Ali Basya agar menyiapkan pasukan dengan jumlah besar untuk menggempur Muhammad Sa’ud dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Dengan izin Allah, pasukan Ali Basya mendapatkan kemenangan yang gemilang. Pada tahun 1227 H / 1812 M, Hijaz dikuasai kembali oleh kelompok Sunni hingga akhirnya digulingkan lagi pada tahun 1924 oleh keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Sa’ud yaitu Raja Abdul Aziz bin Sa’ud yang dibantu oleh keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikenal dengan sebutan Alu Syaikh. Saat itu, Turki sudah hancur  kegagahannya dan Mesir sudah menjadi Negara sendiri. Sehingga, akhirnya Hijaz juga jatuh lagi ke tangan kelompok Wahhabi. Kekejaman yang dibuatnya tidak beda jauh dengan histori yang sudah terkenang dalam pena sejarah. Menurut Kiai Faqih Maskumambang saat berada di Hijaz melihat ada orang yang memegang tasbih, langsung oleh tentara Wahhabi dicopoti kukunya. Itu baru masalah tasbih yang dianggap bid’ah, belum lagi masalah tawassul, ziarah kubur dan lain-lain. Agar ajaran yang dianggap bid’ah oleh Wahhabi tidak bersemayam di Hijaz, maka kitab-kitab para ulama Sunni bbanyak yang dijarah dan dimusnahkan.
Ketika kaum Wahhabi menguasai Hijaz untuk pertama kalinya, ajarannya sudah merebak. Ada sebagian ulama Nusantara yang terpengaruh oleh ajaran Wahhabi yang ingin memurnikan Islam dan menganggap bahwa selama ini umat Islam baru mengamalkan Islam hanya kulitnya saja, belum masuk esensinya. Semisal alumni Hijaz yang mendapat didikan dari paha Wahhabi adalah Haji Miskin, haji Abdurrahman dan Haji Muhammad Arif. Dalam berdakwah mereka mulanya mengalami hambatan dari kaum adat, akan tetapi lambat laun usahanya mendapatkan sambutan. Puncaknya terbentuklah harimau Nan Selapan sebagai pembesar perjuangan Bonjol. Dari misi purinitas yang ingin dikembangkan ini, akhirnya perang saudara antara sesame umat Islam, yaitu kaum Bonjol dengan Kaum Adat, dan hal ini sangat dimanfaatkan oleh Belanda yang ketika itu menjajah Minangkabau.
Untuk wilayah jawa, perkembangan Islam purinitas gencar ketika munculnya organisasi Muhammadiyah oleh Kiai Ahmad Dahlan pada 1912, dan al-Irsyad oleh Syaikh Ahmad Sukarti pada 1914. Mereka sering menuding amalan Islam Tradisionalis dengan kolot, konservatif, ahlul bid’ah, khurafat, tahayyul hingga berujung kepada kesyirikan. Sehingga, hal ini membuat kuping para kiai yang tergabung dalam Islam Tradisionalis menjadi bising dan tak sabar ingin melawannya.
Untuk kelompok Islam Modernis mereka telah mempunyai organisasi atau jam’iyyah social keagamaan yang terstruktur dengan baik bila dibandingkan dengan Islam Tradisionalis. Sebenarnya Islam Tradisionalis itu sudah mempunyai perkumpulan seperti halnya Tashwirul Afkar, nahdlatul Wathan dan nadlatut Tujjar, akan tetapi ruang lingkupnya tidak seluas dengan apa yang dimiliki oleh kelompok Islam Modernis. Sehingga, ketika Hijaz jatuh ke tangan Kaum Wahhabi, dan Raja Abdul Aziz bin Sa’ud ingin mengadakan sebuah perkumpulan ulama sedunia yang bertempat di Makkah, maka umat Islam yang ada di Indonesia berselisih pendapat tentang siapa yang akan mewakili Indonesia. Setelah terjadi perdebatan yang panjang, maka disepakatilah nama-nama delegasi yang akan diberangkatkan. Mereka yaitu, HOS. Cokroaminoto [Serikat Islam], KH. Mas Manshur [Muhammadiyah], H. Abdul Karim Amrullah / HAMKA [utusan dari Persatuan Guru Agama Islam], H. Abdullah Ahmad [pendiri Sekolah Adabiyah dari Sumatra Barat], H.M.Soeja’ dan Kiai Wahab Hasbullah. Delegasi ini berangkat atas nama organisasi CCC [Central Comite Chilafah].
Ketika hendak berangkat, Kiai Wahab Hasubullah mendapat sebuah halangan sebab ayahandanya kembali ke Rahmatullah. Kendati tidak bisa hadir, akan tetapi, Kiai Wahab Hasbullah sudah menitipkan pesan kepada teman-temannya yang menjadi delegasi untuk menyampaikan aspirasi yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kelompok Islam Tradisionalis. Akan tetapi, kemungkinan tersebut sangat tipis sekali sebab adanya perbedaan paham yang dianut. Oleh karena itu, Kiai Wahab Hasbullah bersama dengan para kiai lainnya seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Faqih Maskumambang, Kiai Bishri Syansuri, Kiai Shaleh Lateng, Kiai Asnawi Kudus dan lain-lain dari ulama terkemuka se-Jawa dan Madura untuk melakukan musyawarah di kediaman Kiai Ridwan Abdullah pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926 M. Musyawarah ini menghasilkan lahirnya Nahdlatul Ulama. Di antara kesepakatan yang lahir adalah:
1. Mengirim delegasi ke Kongres Dunia Islam di Makkah untuk memperjuangkan kepada Raja Ibnu Sa’ud agar hukum-hukum menurut Empat Madzhab [Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali] mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya.
2. Membentuk suatu jam’iyyah bernama Nahdlatul Ulama [kebangkitan para ulama] yang bertujuan menegakkan syari’at Islam yang berhaluan salah satu dari Empat Madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Jam’iyyah ini disususn dengan kepengurusan syuriah dan tanfidziyah. Nama nahdlatul Ulama diusulkan oleh Kiai Mas Alwi bin Abdul Aziz. [Syaifuddin Zuhri: 1972]
Lahirnya Nahdlatul Ulama ini disambut gembira-ria oleh ulama-ulama dari kalangan Islam Tradisionalis. Dengan organisasi ini, mereka dapat memperjuangkan ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah secara lebih terstruktur. Karena sifat tolerannya yang tinggi, Nahdlatul Ulama cepat berkembang hingga ke pelosok desa-desa terpencil hingga ke belahan dunia. Dengan bukti banyaknya cabang Nahdlatul Ulama di luar negeri yang menginduk pada organisasi Nahdlatul Ulama yang ada di Nusantara.
Sumber Bacaan : Muassis Nahdlatul Ulama, Manaqib 26 Tokoh Pendiri NU

Komentar

Tampilkan

Terkini

Followers