PONDOK PESANTREN AL-QODIRI 1 JEMBER

LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS PESANTREN

Ketik Kata Kunci

PROFIL DAN PERJALANAN HIDUP KH ACHMAD MUZAKKI SYAH

Selasa, 16 Juni 2020, Selasa, Juni 16, 2020 WIB Last Updated 2020-06-17T03:41:43Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini
KH ACHMAD MUZAKK SYAH

ASAL USUL DAN RIWAYAT HIDUP

KH. Ach. Muzakki Syah, lahir di desa Kedawung, kecamatan Patrang Kabupaten Jember pad hari ahad Manis, tanggal 09 Agustus 1948,dari pasangan keluarga sakinah KH. Achmad Syaha dengan Hj. Fatimatuzzahara binti KH. Syadali.

Sebagai anak yang bertugas menjaga adiknya (bernama Moh. Mahsun, sebab kakaknya yang bernama mahalli wafat ketika masih bayi), Muzakki kecil secara alamiah telah terdidik menjadi seorang pemimpin, paling tidak dalam mengayomi, sabar, mengalah dan menyayangi adiknya yang lebih kecil, mak tidak heran bila dalam diri Muzakki telah tertanam karakter kepemimpinan yang kelak dapat menjadi modal dasar untuk memimpin umat.

Kisah pertemuan KH. Achmad Syaha dengan Nyai Hj. Fatimatuzzahra terjadi ketika beliau masih nyantri di pesantren al-Wafa Tempurejo. Saat itu beliau sering ikut temannya yang bernama Moh. Mu'rob ke Kedawung. Di sana beliau sempat berkenalan dengan KH. Syadali (satu-satunya Kyai yang saat itu mengasuh musholla tempat beberapa orang belajar agama dan membaca al-Qur'an).

Kebetulan Posisi rumah Moh Mu'rab tidak jauh dari Musholla itu, maka setiap kali masuk waktu sholat, bindarah Syaha (sebutan untuk orang yang nyantri di pesantren) numpang sholat di musholla tersebut. Setiap kali selesai menunaikan sholat beliau tidak langsung pulang ke rumah Mu'rob, melainkan wiridan dan membaca al-Qur'an terlebih dahulu, serta bertamu untuk silaturrahim dan bertukar fikiran dengan KH. Syadali, hal tersebut terjadi berulang kali.

Di lain pihak, KH. Syadali sangat kagum dan simpati terhadap akhlak, dan kecerdasan tamunya itu, diam-diam di dalam hati KH Syadali berdoa, Yaa Allah, andai anak ini mau menjadi menantuku, tentu perjuanganku mencerdaskan masyarakat dan mengembangkan ajaran Islam di sini akan semakin mudah.

Singkat cerita, doa beliau dipenuhi Allah, maka dalam usia 33 tahun Achmad Syaha dinikahkan dengan putri sulung beliau yang bernama Jum'ati (Hj. Siti Fatimatuz Zahara), yang waktu itu masih berusia 13 tahun. Kira-kira satu tahun setelah pernikahan itu, KH. Syadali wafat dipanggil Allah swt., dengan meninggalkan seorang istri (Ma'ani / Hj. Nyai Syadali) dan tiga orang anak, Jum'ati umur 14 tahun (istri KH. Achmad Syaha), Nadifa umur 11 tahun, dan Yazid umur 9 tahun, sejak itu posisi KH. Syadali mengasuh Musholla digantikan oleh KH. Achmad Syaha.

KH. Achmad Syaha sendiri diakui banyak orang sebagai seorang ulama' yang wara', tawadhu', 'allamah, dan zuhud di zamannya. Beliau pernah nyantri dan berguru pada waliyullah KH. Ali Wafa, di pondok pesantren Al-Wafa, Tempurejo, Jember selam 23 tahun, selain sangat dekat dengan sang guru, beliau juga dipercaya sebagai kelora'an (santri yang diberi kewenangan mewakili KH. Ali Wafa mengajar kitab kuning) di pesantren tersebut.

Kendati KH. Achmad Syaha termasuk tokoh warrosihuna fil ilmi, punya banyak kedigjayaan, dan telah mencapai maqom spiritual tingkat tinggi, namun beliau memilih mengubur eksistensi dirinya di dalam 'khumul' (ketidak terkenalan), konon semua kebesarannya sengaja dirahasiakan demi kemuliaan putra-putranya dimasa yang akan datang.

Menurut keterangan KH. Ainul Yaqin, ketika usia perkawinan KH. Achmad Syaha dengan Nyai Hj. Fatimatuzzahara memasuki bulan ketiga, satt itu beliau sedang sholat malam dan membaca nurul Burhan (kitab manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani), KH. Achmad Syaha seakan bermimpi. Dalam mimpinya itu, beliau buang air kecil saat hendak berwudlu', tiba-tiba yang keluar bukan air kencing, malainkan dua ekor Macan yang sangat besar, dan mimpi tersebut terus mengiang dalam ingatan kesehariannya.

Karena itu KH. Achmad Syaha sangat serius mempersiapkan putra-putranya agar kelak menjadi orang mulia dan berguna, sebagaimana nabiyullah Ibrahim as, beliau selalu melibatkan putra-putranya dalam setiap doanya, bahkan sejak dua bulan istrinya mengandung calon putra keduanya (kelak diberi nama Muzakki), KH. Achmad Syaha tidak pernah telat menghatamkan Nurul Burhan tiap subuh, dan khusus tiap malam Jum'at beliau menyembelih ayam untuk dzikiran manaqib bersama para tetangganya, padahal saat itu ekonomi beliau saat memprihatinkan.

Atas keistiqomahannya mengamalkan dzikir manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani, KH. Achmad Syaha, menurut Cerita Ust. Abdullah Jailani, pernah didatangi oleh Rijalul Ghaib, yang merupakan salah seorang guru spiritualnya. Sang guru berujar, "Syaha... say melihat dari Madura ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan di sini, setelah say cari, ternyata sinar itu berasal dari majelis dzikir manaqib yang kamu baca bersama tetanggamu untuk calon putramu Muzakki yang masih dalam kandungan". (Dalam lagenda madura, nama asli dari Rijalul Ghoib itu adalah Sulthon Abdurrahman, cucu dari bindarah saut yan sejak kecil menghilang, sedangkan bindarah Saut sendiri adalah Raja Sumenep yang bergelar Tumenggung Tirto Negoro, yang berkuasa pada tahun 1750 an).

Ketika Muzakki masih berumur satu tahun, konon abah dan umminya sering bermimpi yang aneh-aneh, seperti di tuturkan oleh Drs. H. Rifa'i Ikhsan (sekarang beliau adalah ketua koordinator Manaqib Al-Qodiri dan sebagai Kepala Sekolah SMK A-Qodiri), suatu waktu KH. Achmad Syaha sekitar jam dua dini hari teriak-teriak (ngelindur/menggigau). Dalam teriakannya beliau berucap "Muzakki, Muzakki... turun, turun... nanti kamu jatuh, ada apa kamu disitu ....?" saking kerasnya teriakan itu, banyak tetangga yang terbangun dan mendatangi kediaman KH. Achmad Syaha, setelah ditanya kenapa teriak-teriak tengah malam, beliau menjawab, saya melihat Muzakki bertengger di langit ke-4 dan tidak mau turun, katanya dia sedang membetulkan pintu gerbang para waliyullah yang roboh.

Selang tiga hari dari peristiwa itu, gnti nyai Fatimah zahra yang mimpi melihat Muzakki kecil berpidato di sebuah terminal dan dikerubuti banyak orang, ketika disuruh pulang, dia tidak mau, malah Muzakki kecil membuka mulutnya (mangap) dan dalam mulutnya terlihat ada kereta api, ada kapal terbang, kapal laut dan semua isi dunia.

KH. Achmad Syaha faham betul bahwa masa kanak-kanak merupakan babak awal dari episode kehidupan seorang manusia yang terus bersambung kepda masa berikutnya, nuansa kehidupan di masa kanak-kanak hampir bisa dipastikan akan mewarnai dn berpengaruh besar terhadap jalan cerita seseroang pada episode berikutnya.

Masa kanak-kanak adalah potret masa lalu yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk melihat potret sesorang setelah dewasa kelak, karena itu, masa kanak-kanak adalah titik basic strategis dalam proses pembentukan karakter dan kepribadian seseorang di masa selanjutnya, di sinilah peran kedua orang tua menjadi sangat dominan.

Rasulullah sawa bersabda "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani atau Majusi" (HR. Bukhari Muslim)

Spektrum inilah yang menjadikan KH. Achmad Syaha sangat akrab dengan putra-putranya, ketika Muzakki dan Mahsun sedang makan atau hendak tidur beliau selalu menemaninya sambil bercerita tentang hal-hal ghaib, seperti kehebatan mu'jizat para nabi, kehebatan karomah para wali, tentang lailaul qodar dan hal-hal ghaib lainnya, semua cerita itu tentu membuat Muzakki kecil sangat senang dan merekamnya dalam-dalam di hatinya.

Menurut keterangan KH. Achmad Muzakki Syah, pernah dalam suatu kesempatan, waktu itu dirinya sudah kelas II SD,abahnya memanggilnya secara khusus, setelah duduk bersamanya, beliau berkata, anakku, jika kelak kau ingin menjadi orang yang berguna bagi agama dan masyarakat, mulai sekarang persiapkanlah dirimu untuk mendapatkan "lailatul qodar" sebab keistimewaan mendapat lailatul qodar itu menjadikan orang yang menerimanya itu "Masaqih". Apa Masaqih itu? selidik Muzakki kecil pada abahnya, KH. Achmad Syaha melanjutkan masaqih itu adalah keisitimewaan komplit, artinya di samping ia keramat banyak tamu yang membutuhkannya, ia juga diikuti ribuan jamaah dan santri, termasuk juga tidak berhenti diundang orang dari semua lapisan untuk berceramah atau berdoa serta hidupnya kaya raya.

Semasa hidupnya, KH. Achmad Syaha adalah seorang yang gemar bersedekah, meskipun beliau sendiri hidup dalam kekurangan. Beliau juga seorang yang sabar dan sangat penyayang pada siapapun, terutama pada para tamu dan tetangga, dalam hati beliau tidak pernah punya rasa benci pada siapapun, konon karena kegemarannya dalam bersedekah itulah, putra beliau diberi nama Muzakki, dengan harapan, agar kelak si anak menjadi seorang yang dermawan dan gemar bersedekah.

Lingkungan keluarga KH. Syadali menurut keterangan Pak Mus, sejak awal memang sangat taat dalam menjalankan perintah agama, ketika mereka semua berkumpul dan bercengkerama, yang menjadi tema pembicaraan adalah tidak pernah keluar dari soal kisah-kisah Kyai sepuh, kedigjayaan, kewalian dan hal-hal ghaib lainnya. Maka suatu yang niscaya jika kemudian di lingkungan keluarga ini berbentuk "persaingan" berlomba, kuat-kuatan mujahadah untuk taqarrub ilallah, hampir setiap malam Muzakki, Mahsun dan Moh. Yazid (adik dari Nyai H. Fatimatuzzahra) lomba melek untuk tirakat.

Latar belakang inilah yang kelak membuat Muzakki lebih senang mendalami ilmu-ilmu ghaib daripada ilmu biasa, konon menurut cerita teman-temannya, ketika di pesantren, Muzakki memang sering melakukan atraksi ilmu-ilmu kedigjayaan, bahkan pernah suatu ketika pulang sekolah, hati Muzakki krentek terhadap sesuatu, maka tidak disangka yang dikrenteki terjadi dengan nyata.

RIWAYAT PENDIDIKAN

KH. Achmad Muzakki Syah dan adiknya (KH. Mahsun Syah) , pada masa mudanya hidup dalam suasana lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, hingga beliau berdua dewasa.  Selain itu, sebagai keluarga yang sangat sadar akan pentingya pendidikan, KH. Achmad Syaha tidak ingin kedua putranya ketinggalan, maka ketika usia Muzakki menginjak tujuh tahun, ia didaftarkan di SDN Kedemangan.

Begitu tamat SD, Muzakki di kirim ke Ponorogo untuk nyantri di Gontor, setelah setahun di Gontor, Muzakki pulang dan langsung mendaftarkan diri di Madrasah Tsanawiyah 02 Jember yang saat itu gedungnya masih numpang di PGAN Jember. Setelah tamat, Muzakki lagi-lagi ingin menimba ilmu di pesantren, kali ini yang dipilihnya adalah pesantren Darul Ulum Peterongan-Jombang, baru setahun berguru ke KH. Mustain Romli di Peterongan, Muzakki pulang lagi ke Jember dan langsung mondok di pesantren al-Fattah Jember, berguru pada KH. Dhofir Salam sambil sekolah di SP IAIN dan melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Jember.

Di pondok pesantren, Muzakki remaja  hanya bermaksud mengambil barakah karenanya ia tidak pernah lama, sebagian besar waktunya justru digunakan untuk berkelana kesana-kemari sowan ke para ulama sepuh, para wali, dan ahli-ahli karomah, ketika di al-Fattah pun, dia bersama KH. Dhofir, justru setiap minggu sowan ke waliyullah KH. Abd. Hamid Pasuruan Jawa Timur.

Pernah suatu ketika Muzakki terpesona menyaksikan aktivitas dzikir jama'ah tarekat Naqsabandiyah di pesantren Darul Ulum Peterongan, lalu dia minta izin pada abahnya untuk ikut tarekat Naqsabandiyah pimpinan KH. Mustain Romli tersebut, namun niat Muzakki tak kesampaian, abahnya tidak mengijinkannya, ketahuilah anakku kata abahnya, ikut tarekat seperti itu lama untuk mencapai maqom kewalian, ada yang lebih mudah dan cepat, yakni meniru tarekatnya para ulama dan auliya' Madura. ---tidak ada niatan lain dari kisah ini yang ingin menomor duakan tarekat naqsabandiyah, sebab jawaban dari abah Kyai Muzakki ini adalah persepsi yang subjektif. mohon untuk tidak terlalu di persoalkan, sebab semua orang bebas memilih jalannya masing-masing----.

Sejak nyantri di di pesantren al-Fattah, Muzakki remaja tidak lagi berkumpul dengan kedua orng tuanya, sebab sejak itu KH. Achmad Syaha bersama istri dan putra bungsunya (Mahsun) hijrah dari Kedawung ke daerah Gebang Poreng.Sementara Muzakki tetap tinggal bersama Nyai Hj. Syadali (neneknya) dan KH. Yazid (pamannya) di Kedawung, sejak kepergian KH. Achmad Syaha, musholla peninggalan KH. Syadali diserahkan kepada KH. Yazid. Setelah beberapa tahun memperluas syiar Islam di Gebang Poreng, mereka hijrah lagi dan menetap sampai akhir hayatnya di daerah Pengarang Bondowoso.

Menurut keterangan Pak Mus, salah seorang teman yang masih tetangga KH. Achmad Syaha di Gebang Poreng, beberapa bulan sebelum KH. Achmad Syaha hijrah ke Bondowoso, beliau sempat bilang ke saya "Mus...torain yah, mon sengkok tak kerah japo', tapeh ba'na mesteh japo', tang anak (Muzakki) paggik bekal deddih oreng rajeh, se ekabuto ummat deri mandimman"
(Pak Mus... catat ya, kalau saya tidak nututi, tapi kamu pasti nututi, anak saya (Muzakki) nanti akan jadi tokoh besar yang dibutuhkan ummat dari mana-mana)

MENELISIK SILSILAH KH ACHMAD MUZAKKI SYAH

Ali bin Abi Tholib karromallahu wajah menyebutkan "pemuda yang handal adalah mereka yang berani mengatakan inilah aku, bukan yang mengatakan aku anak fulan cucu si fulan".

Pandangan tersebut relevan dengan tuntunan al-Qur'an yang menegaskan bahwa sesungguhnya posisi yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara mereka. Karena itu kepada anak cucunya, para santrinya dan para jamaahnya, Kyai Muzakki sering memberikan tausiah atau qoul hikmah bahwa :

Artinya :
"Kemuliaan seseorang itu bukan karena nasabnya, tetapi karena jerih payah usahanya sendiri", maka jangan andalkan nasab dan silsilah tapi andalkanlah dirinya sendiri.

Bagi Kyai Muzakki kemuliaan dan eksistensi seseorang bukan ditentukan oleh orang lain, juga bukan karena faktor keturunan, genetik, jabatan, kekayaan atau pelbagai simbol dhahiriyah lainnya, melainkan lebih ditentukan oleh prestasi, kompetensi, track record (rekam jejak) dan kredibilitas serta ketaqwaan dirinya sendiri kepada Allah swt, dalam konteks inilah kiranya difahami pernyataan yang sering disampaikan Kyai Muzakki "kalah wirid kalah, menang wirid menang".

Namun demikian, bagaimanapun silsilah tetap memiliki makna penting bukan pada pengertiannya yang menunjuk pada "aku anak siapa", melainkan pada esensi dari "aku" yang memancarkan sebuah peran dan manfaat dalam kehidupan nyata, maka istilah "buah itu tidak akan jatuh jauh dari pohonnya" atu "liyakun waladul asadi syiblan laa hirratan" (anak singa seharusnya sanga bukan kucing) harus difahami sebagai motivasi yang dapat memacu dirinya untuk berprestasi lebih baik dari nenek moyang mereka sebelumnya.

Penulisan silsilah Kyai Muzakki di sini dimaksudkan untuk melihat bagaimana beliau sejak dalam kandungan, masa kanak-kanak, masa remaja hinga pada masa dewasa, termasuk juga untuk melihat berbagai i'tibar positif yang dapat diteladani oleh generasi berikutnya.

Setiap orang tua pasti mendambakan dzurriyahnya hidup sukses, karena itu berbagai hal dilakukan oleh orang tua untuk mendesain agar para dzurriyahnya kelak dapat mencapai kesuksesan hidup yang gmilang, dalam Islam atensi terhadap nasib anak tidak hanya dimulai pasca kelahiran anak, tetapi jauh sebelumnya, ketika kedua orang tuanya akan menikah orientasi ke arah tersebut sesungguhnya telah dimulai.

Teks-teks suci yang mengajarkan -misalnya- agar orang berhati-hati memilih pasangan, karena anak yang lahir darinya akan mewarisi watak, juga ajaran tentang tata cara, akhlaq dan doa-doa yang harus dilakukan suami istri sebelum dan sesudah melakukan hubungan intim, ketika istri hamil, bahkan saat sang bayi lahir, adalah seperangkat bukti betapa orang tua sangat menentukan hitam-putih atau sukses tidaknya sang anak dikemudian hari.

Terdapat beberapa kiat yang dilakukan leluhur Kyai Muzakki untuk tujuan diatas, antar lain :

Pertama, memberikan keteladanan yang baik. Ke-dua, melihbatkan anak cucu mereka dalam doa-doa yang spiritual dan inspirasional, seperti halnya nabi Ibrahim as, yang mengikutsertakan keturunannya dalam pelbagai doa-doanya :

Yaa Tuhanku, Jadikan aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan Shalat" (Qs. 14 : 40). Yaa Tuhanku, Jadikanlah Negeri ini Negeri yang aman dan sentosa dan jauhkan aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala. (Qs. 14 : 35). Sesungguhnya Aku (Allah) akan menjadikanmu (Ibrahim) Imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata (dan aku mohon juga) dari keturunanku. (Qs. 2 : 124).

Ke-tiga, menceritakan kisah-kisah agung pada anak cucu, sebab hakekat manusia adalah mahluk yang gemar bercerita  dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya, para nabi mengajar ummatnya dengan berbagai cerita dan perumpamaan, Al-Qur'an sendiri sebagian isinya berbentuk cerita dan kisah.

Para sufi seperti al-Attar, Rumi dan Sa'di mengajarkan kearifan perennial dengan cerita, pra kyai sepuh dulu senang berdiskusi dengan putra-putrinya atau santrinya dengan pendekatan cerita, tidak saja dari kisah Islam, tapi juga kisah-kisah dalam injil, kisah dari China, India, motologi Yunani, kisah pewayangan, sampai cerita Crayon Sinchan.

Ke-empat, mendiskusikan berbagai persoalan dan penderitaan dengan perspektif ruhaniyah, yakni memberikan makna terhadap semua kejadian dengan merujuk pada rencana agung ilahi (The Divine Grand Design), bahwa setiap kejadian yang menimpa manusia adalah implementasi dari kehendak Tuhan, dan setiap kehendak Tuhan pasti yang terbaik, sebab Tuhan sumber kebaikan.

Ke-lima, membawa anak cucu menikmati keindahan alam, dan ke-enam membawa anak cucu berkunjung ke tempat orang-orang menderita dengan maksud melatih kepekaan emosi spiritual. Serta yang ke-tujuh, melibatkan anak cucu dalam membaca kitab suci dan kegiatan ritual keagamaan lainnya sebagai cara praktis untuk "tune in" anak dari pengalaman fisikal material ke pengalaman spiritual.

Maka sekali lagi penulisan, silsilah Kyai Muzakki ini hanya dimaksudkan untuk melihat dimensi-dimensi seperti di atas, bahwa kemudian dalam penelusuran sisilah Kyai Muzakki ditemukan memiliki titik ordinat dengan masyayikh dan habaib yang terus bersambung pada Rasulullah Saw, sesungguhnya hanyalah sebuah kebetulan belaka, yang pasti, Kyai Muzakki terbukti nyata memiliki talenta spiritual yang dapat dijadikan acuan oleh banyak orang untuk berkaca diri.

Dari berbagai data, ditemukan bahwa Kyai Muzakki mempunyai silsilah yang bersambung hingga kepada Rasulullah Saw, rinciannya adalah sebagai berikut :
Achmad Muzakki Syah adalah putra Nyai Juma'ati (Hj. Fatimatuzzahra) binti KH. Syadali bin KH. Moh. Arief bin K. Durrin bin K. Moh. Toyyib bin K. Abd. Latief bin KH. Asy'ary bin KH. Moh. Adzro'i bin KH. Yusuf bin Sayyid Abd. Rahman (Mbah Sambu) bin Sayyid Moh. Hasyim bin Sayyid Abd. Rahman Basaiban bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar Basyaiban bin Sayyid Moh. Asadullah bin Sayyid Hasan at-Turabi bin Sayyid Ali bin Sayyid Moh. al-Faqih al-Muqaddam bin Sayyid Ali bin Sayyid Moh. Sahibul Marbat bin Sayyid Ali Qoli Qosam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi  bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad al-Muhajir  bin Sayyid Isa an-Naqib bin Sayyid Moh. an-Naqib bin Sayyid Ali al-Uraidi bin Sayyid Ja'far Shodiq bin Sayyid Moh. al-Baqir bin Sayyid Zainal Abidin bin Husien asy-Syahid, putra Syayyidah Fatimah az-Zahra al-Batul binti Baginda nabi besar Muhammad Saw.

MELANGLANG BUANA, MEMANTAPKAN JATI DIRI

Seakan sudah diatur sebelumnya, setelah kurang lebih du tahun keluar dari pesantren al-Fatah Talangsari - Jember, Kyai Muzakki pada tahun 1970 menikah dengan Nyai Hj. Nur Fadhilah binti H. Fathur Rahman, dan tinggal bersama di Gebang Poreng Kecamatan Patrang Kabupaten Jember, tidak jauh dari tempat di mana dulu abahnya (KH. Achmad Syaha) pernah menetap dan menyebarkan syiar Islam.

Di hamparan tanah seluas 5000 M2  Pasangan suami istri ini memulai biduk rumah tangga hingga dikaruniai tiga oranganak, yakni, Taufiqur Rahman, Ilmi Mufidah dan Achmad Madil Mz, di tanah ini pulalah kelak Kyai Muzakki mendirikan cikal bakal pusat gerakn dakwahnya hingga mengantarkan namanya bersinar tidak saja seantero tanah air tetapi juga di luar negeri bak kejora yang menerangi malam.

Sebenarnya dipilihnya Jember sebagai pusat perjuangan dan gerakan dakwah oleh Kyai Muzakki bukanlah sebuah kebetulan, konon hal ini merupakan hasil istikharah abahnya, KH. Achmad Syaha.

Memang untuk ukurang daerah tapal kuda, Jember merupakan barometer, hal tersebut selain karena secara geografis Jember merupakan daerah yang paling strategis sebagai lalu lintas perekonomian kota-kota lainnya, juga karena perkembangan pendidikannya yang demikian pesat melampaui yang lain. Jember, waktu itu bahkan hingga saat ini di samping tercatat sebagai kota pelajar yang memiliki banyak PTU (Perguruan Tinggi Umum) dan PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) baik negeri maupun swasta, juga dikenal sebagai kota santri yang melahirkan banyak sekali tokoh Islam, ulama' atau bahkan para waliyullah, sebut saja misalnya KH. Abdul Aziz Tempurejo, Habib Sholeh al-Hamid Tanggul, Mbah Nur Kemuning Pakis, KH. Muhammad Siddiq dan KH. Abdul Hamid Talangsari (kemudian menetap di Pasuruan) adalah sederet nama yang diakui sebagai "Awliya'il 'adzim" di tanah jawa secara muttafaq alaih.

Sebagai orang yang terobsesi untuk mencapai maqom spiritual tinggi, Kyai Muzakki adalah sosok yang haus ilmu dan belum merasa puas dengan apa yang telah didapatkannya baik dari orangtuanya, paman dan para gurunya, maupun dari kelana spiritualnya pada tahap sebelumnya, di hatinya muncul keinginan pengalaman baru, tekad yang kuat tersebut baru terealisasi pada tahun 1971.

Seperti diketahui bahwa semasa bujang, Kyai Muzakki sudah sering melakukan kelana spiritual, banyak waktunya yang dihabiskan untuk tabarukan di beberapa pesantren, padepokan dan pesarean para masyayih dan auliya' khususnya di Jawa timur, dari data yang terkumpul, terdapat keterangan bahwa para masyayih, auliya' dan ahli karomah (baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat), yang sempat didatangi oleh Kyai Muzakki antara lain :
Untuk Kawasan Jember dan sekitarnya :
1. Kyai Moh. Shiddiq
2. Kyai Halim Shiddiq
3. Kyai Mahfudz Shiddiq
4. Kyai Abdullah Shiddiq
5. Kyai Ahmad Shiddiq
6. Kyai Dhofir Salam
7. Kyai Paga
8. Kyai Abdul Aziz
9. Kyai Ahmad
10. Kyai Muqid
11. Kyai Mun'im
12. Kyai Busthomi
13. Nyai Maryam Tempurejo
14. Kyai Hafidz Nogosari,
15. Kyai Chotib Klompangan
16. Mbah Nur Kemuning Pakis
17. Kyai Senadin Jerreng
18. Kyai Umar
19. Kyai Syukri Sumber Bringin
20. Kyai Sholeh Suger
21. Kyai Misrai Ledok Ombo
22. Habib Sholeh al-Hamid Tanggul
23. Kyai Hannan Tanggul
24. Kyai Abdullah Yaqin Mlokorejo
25. Kyai Jauhari Kencong
26. Kyai Zuhri
27. Kyai Tayyib dan Kyai Shonhaji Banyu Putih

Untuk kawasan Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi antara lain :
1. Kyai Hosnan bringin
2. Habib Muhdhar
3. Habib Abdullah al-Hamid
4. Habib Alwi al-Habsy Tanggarang
5. Kyai Ronggo
6. Kyai Asy'ari
7. Kyai Togo
8. Maulana Ishaq Pacarron
9. Kyai Syamsul Arifin Sukorejo
10. Kyai As'ad Syamsul Arifin Sukorejo
11. Datuk Abd. Rahman
12. Kyai Muhtar Syafa'at Blok Agung
13. Kyai Ahmad Qusyairi Glenmore

Untuk kawasan Probolinggo, Pasuruan, dan Jombang antara lain :
1. Kyai Hasan Seppo
2. Kyai Hasan Syaifur Rijal Genggong
3. Nun Muhlas Bedaduh
4. Kyai Zaini Mun'im Paiton,
5. Kyai Mino Probolinggo,
6. KH. Abd. Hamid,
7. Kyai Abu Ammar Pasuruan,
8. Kyai As'ad Bendungan,
9. Kyai Mustofa Lekok
10. Kyai Abd. Jalil
11. Kyai Holil Sidogiri
12. Kyai Nawawi Sidogiri
13. Kyai Mustain Romli Peterongan
14. Kyai Hasyim Asy'ari Jombang
15. Semua Wali Songo di pulau Jawa.

Di Tahun 1971 berawal dari pertemuannya dengan KH. Masyurat (seorang ulama fenomenal dari Madura), Keinginan Kyai Muzakki untuk terus menuntut ilmu dan menambah pengalaman-pengalaman baru kembali berkobar, maka setelah mendapat restu dan ridho dari berbagai pihak, terutama isteri dan kedua orangtuanya, kendati harus meninggalkan istri yang baru satu tahun dinikahinya dan putra sulungnya yang masih berumur tujuh bulan, demi kecintaannya kepada Allah dan demi masa depan yang lebih gemilang, berangkatlah Kyai Muzakki mengikuti KH. Masyhurat melakukan kelana spiritual untuk yang kesekian kalinya.

Kali ini atas saran guru-gurunya, atas ajakan KH. Masyhurat dan terutama atas saran serta Ridho abahnya, beliau bertolak menuju pulau yang paling agamis dan memiliki "bujuk" paling banyak di Indonesia, yakni pulau Madura. Konon, para ulama besar dan waliyullah yang bertebaran serta malang-melintang di berbagai wilayah di tanah air pasca wali songo, berasal atau lebih tepatnya jebolan dari pulau ini.

Seperti halnya petualangan-petualangan spiritual sebelumnya, yang dilakukan Kyai Muzakki di pulau ini hanyalah "Sowan untuk tabarrukan" di beberapa ulama dan pesarean para masyayih dan auliya'. Beberapa nama yang sempat dihirup barakahnya oleh Kyai Muzakki di pulau ini antara lain :

1. Syaikhona Cholil bin Abd. Lathif Al-Bangkalani
2. Bujuk Mulana
3. Bujuk Muhammad
4. Bujuk Bagandan Sido Bulangan Pakong
5. Bujuk Candana Kwanyar Bangkalan
6. Bujuk Kantandur
7. Kyai Abu Syamsuddin Batu Ampar
8. Kyai Abd. Majid Bata-Bata
9. Kyai Baidhowi
10. Kyai Abdul Hamid
11. Kyai Bakir Banyuanyar
12. Kyai Syarkowi,
13. Kyai Ilyas Guluk-Guluk
14. Kyai Abdul Alam Prajjan
15. Ulama-ulama Kembang Kuning dan Panyeppen Pamekasan
16. Kyai Jazuli Talangoh
17. Bujuk Rabah Sampang
18. Bujuk Tongket Pamekasan
19. Kyai Imam
20. Kyai Ahmad Dahlan Karay
21. Agung Utsman Lenteng Barat, Sayyid Yusuf Talangoh

22. Bindara Saut Ratu Sumenep

BERGURU PADA RIJALUL GHAIB

Setelah malang melintang menelusuri berbagai lorong kampung ilmu dan menyerap berbagai barokah dari para pendekar hikmah di hamparan dan sudut bumi Madura, puncaknya sampailah Kyai Muzakki pada salah seorang maha guru di bidang spiritual dan hikmah, yang tak lain adalah guru dari abahnya sendiri, yang dulu pernah datang ke Kedawung, karena melihat dari Madura ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan yang ternyata berasal dari majelis dzikir manaqib yang dilakukan oleh KH. Achmad Syaha bersama para tetangga untuk dirinya yang waktu itu masih berada dalam kandungan ibunya. Beliau tak lain adalah sang maestro, Sulthan Abdur Rahman cucu bindara Saut yang menghilang sejak bayi.

Diakui sendiri oleh Kyai Muzakki bahwa tempaan dari Sulthan Abdur Rahman yang kelak paling banyak mewarnai peta nurani, struktur kognisi dan langgam spiritual dirinya, bahkan di bawah asuhan beliau, Kyai Muzakki untuk pertama kalinya mendapatkan banyak pengalaman  bathin dan syahadah spiritual nan dahsyat, dan tidak ada kata yang representatif untuk menggambarkannya, maka boleh dikata selain orang tuanya sendiri-dan tanpa bermaksud mengecilkan peran guru-gurunya yang lain- Sulthan Abdur Rahman lah yang paling berpengaruh, berjasa dan signifikan mengantarkan dirinya pada maqom dan eksistensinya seperti sekarang ini.

BERTAPA DI GUA PAYUDAN MADURA

Salah satu tahapan tempaan spiritual yang dibebankan oleh sang maha guru Sulthan Abdur Rahman atas Kyai Muzakki adalah bertapa (khalwat) di gua Payudan yang terletak di desa Daleman, kecamatan Guluk-guluk, kabupaten Sumenep Madura. Konon, di gua tersebut dulu para pencinta Allah sering kali berkhalwat mamadu kasih.

Menurut Kyai Muzakki, Sulthan Abdur Rahman menjelaskan bahwa tahap ini dimaksudkan sebagai penggodokan nafsani dan peragihan sukmawi, guna melatih anasir batin, agar si pertapa dapat mengantarkan dirinya pada posisi fana, sebagai sarana utama terjadinya proses sambung rasa dan kontak emosi dengan al-Mahbub. selain itu, proses ini juga dimaksudkan sebagai proses penyerapan sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia.

Seperti diketahui, setiap manusia sejatinya mempunyai potensi dasar ganda, yakni sifat kemanusiaan (nasut), dan sifat ketuhanan (lahut). Apabila sifat-sifat kemanusiaan itu mampu dilenyapkan melalui proses fana', maka penyerapan sifat-sifat ketuhanan akan terjadi dan berkembang otomatis secara optimal. Pada titik ini, dunia gua adalah dunia dimana sang pertapa melatih dan membiasakan dirinya berposisi fana'. Sebuah syair menyebutkan "Tuhanku, bagaimana cara untuk sampai kepadamu?". Allah menjawab: "tinggalkan dirimu dan datanglah, jika kamu mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanmu, maka kamu akan mampu memiliki (menyerap) sifat-sifat-Ku.

Ketika seseorang mencapai kondisi fana, maka ia menemukan dirinya dan segala sesuatu menjadi tidak ada, sebab yang ada hanyalah Tuhan pencipta segala yang ada, juga menemukan dirinya menjadi sesuatu yang lain. Dikatakan oleh seorang sufi, "aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup, aku adalah rahasia yang maha benar dan bukanlah yang maha benar itu adalah aku. Aku hanya salah satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami".

Menyadari realitas dunia pertapa sebagai dunia peleburan diri dan percumbuan tingkat tinggi antara yang bersangkutan dengan sang khaliq, di mana yang bersangkutan akan menyaksikan dan merasakan betapa sia-sianya kenikmatan duniawiyah bila dibanding dengan kenikmatan bersama Allah rabbul 'alamin, Kyai Syaha merasa khawatir kalau-kalau Muzakki terus larut tenggelam dalam samudra kenikmatan itu, lalu ikut-ikutan menjadi ghaib dan melupakan tanggung jawabnya sebagai penata ummat. Atas konsideran itu, maka setelah genap dua tahun putranya berkhalwat di gua Payudan, KH. Achmad Syaha menemui Sulthan Abdur Rahman, sang rijalul ghaib untuk mempamitkan putranya supaya diperkenankan pulang untuk dapat membina ummat.

Memahami kekhawatiran KH. Achmad Syaha, pada tahun 1973 Sulthan Abdur Rahman  mengizinkannya, lalu membangunkan Kyai Muzakki yang waktu itu berat badannya tinggal 17 kg. Serta menggotongnya keluar dari gua untuk dibawa pulang ke Jember.

BERPUASA SELAMA 4 TAHUN BERTURUT-TURUT

Setelah diizinkan pulang dari pertapaannya, riyadah dan mujahadah Kyai Muzakki untuk menempa dirinya bukan berarti telah selesai, sebagai proses pembengkelan terakhir guna menservis suku cadang batin muridnya, Rijalul Ghaib memerintahkan satu tugas lagi pada Kyai Muzakki, yakni berpuasa selama  4 tahun berturut-turut dengan mencukupkan sebuah pisang untuk berbuka dan bersahur.

Hal ini dimaksudkan agar ego kecil Kyai Muzakki betul-betul mati, sehingga penyerapan nilai-nilai ilahiyah pada dirinya dapat berlangsung secara sempurna. Proses inilah yang dalam bahasa irfan disebut tajalliyat, yang hanya terjadi setelah seseorang melampau proses takholliyat dan tahalliyat. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Telah berfirman Allah Swt. : semua amal manusia adalah untuknya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untukku dan Aku sendiri yang akan memberikan pembalasan kepadanya (HR. Bukhari).

Konon, menurut shohibul hikayah, sebelum mereka berpisah, Rijalul Ghaib sempat menegaskan pada KH. Achmad Syaha, "ketahuilah oleh Syaha, bahwa sesaat setelah Adam dicipta, Allah persiapkan untuknya surga, tetapi sebelum adam masuk kedalamnya, Allah terlebih dahulu mengusir Iblis dari situ, Surga Allah di dunia ini adalah hati kita, apabila kita berniat wushul ilallah, maka kita terlebih dahulu harus membersihkan hati kita dari pelbagai mahluk terkutuk sebagaimana dulu Allah lakukan pada surganya.

Hati kita ini adalah semacam pelabuhan yang hanya menerima satu bahtera, dan tidak mungkin diisi oleh bahtera yang saling kontradiktif, sama seperti surga yang tidak mungkin menerima dua jenis penghuni yang saling kontradiktif, hanya satu penghuni yakni golongan kanan (ashabul yamin).

Seperti diketahui bahwasannya puasa adalah pekerjaan menahan ditengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan diri di tengah tradisi melampiaskan. Ia adalah perlawanan terhadap pernik-pernik dunia, penaklukan terhadap iblis, setan, nafsu dan sekutu-sekutunya, maka dengan berpuasa diharapkan muncul kesadaran bahwa yang bersangkutan tidak lagi mati-matian mencari dan mengejar sesuatu yang tidak bisa dibawa mati.

Puasa adalah latihan mempersiapakan mental dan kepribadian agar mampu mengalahkan hawa nafsu secara terus-menerus, sehingga yang bersangkutan menjadi tuan bagi nafsunya, dengan puasa mendorong seseorang berusaha keras melakukan proses penyucian diri dengan cara menahan diri dari berbagai kecenderungan negatif yang muncul dari dalam dirinya, beristiqomah dalam mulazamah dan mukhalafah, dan terus konsisten membuka pintu surga, mengunci pintu neraka dan mematikan kreasi setan internal dan eksternal, sehingga sampailah manusia puasa pada satu eksistensi di mana ia seperti bayi suci yang baru terlahir dari kandungan ibunya (khoroja min dunubihi kayaumin waladathu ummuhu).

Dalam buku "The Miracle of Fasting" diceritakan : Paul C Bragg, Ph.D, seorang dokter spesialis di health science California, USA yang menghabiskan hampir seluruh usianya untuk meneliti dan memeriiksa ribuan orang berpuasa, mengemukakan, "saya memperoleh hasil yang menakjubkan, bahwa tubuh manusia dapat bekerja sendiri dalam periode tertentu tanpa makanan sama sekali. Keadaan puasa dapat memberikan waktu istirahat dan pemulihan diri bagi sel-sel organ internal tubuh yang selama ini telah bekerja keras dan berlebihan."

Puasa memicu kekuatan dan vitalitas dalam tubuh untuk membersihkan endapan-endapan racun yang tersimpan dalam tubuh seseorang selama bertahun-tahun. Karena puasa mengembangkan tenaga vital manusia kepada tingkat efisiensi yang palin tinggi, maka puasa juga mendorong penghancuran tumpukan zat-zat kimia dan pencemar tubuh lainnya yang tak bisa dibersihkan dengan cara apapun.

Selama berpuasa organ hati yang diketahui sebagai laboratorium kimia dari tubuh manusia yang paling banyak diforsir akan mendapat kesempatan untuk mengumpulkan tenaga dan memulihkan dirinya, sehingga setelah itu hati akan bekerja jauh lebih ringan dan efisien. Seluruh alat sensor manusia akan mengalami peningkatan dan bekerja pada tingkat efisiensi yang tinggi, selama dan sesudah berpuasa. Tak ada satupun proses terapi yang dapat memenuhi semua kebutuhan perbaikan akan kesehatan yang prima selain dengan berpuasa.

Puasa merupakan proses mengagumkan yang dapat memperlancar sirkulasi darah ke semua posisi, sehingga tenaga, daya tahan dan stamina seseorang yang berpuasa bertambah secara alami, termasuk juga pikiran orang yang berpuasa aakan menjadi lebih peka karena sirkulasi darah ke syaraf-syaraf otak menjadi sangat lancar, logika akan cair dan cara hidup akan lebih logis.

Dengan puasa pikiran menjelma menjadi sangat kuat sehingga dapat mengendalikan seluruh anggota tubuh, puasa telah dapat membuat mental seseorang tentram dan kuat, sebab jutaan sel dapat diremajakan dan dimurnikan sehingga membuat struktur yang menakjubkan bagi kesehatan lahir dan batin manusia.


Dengan puasa diharapkan dapat mengantarkan pelakunya dari permukaan pengetahuan menjadi kedalaman ilmu, pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi seseorang, tataran kedua adalah ilmu dan di atas itu adalah cinta, ketika ilmu (penghayatan akan kebenaran) dan cinta (pembijak, pengarif, dan penghikmah) bersenyawa dan berkelangsungan intermanagable, maka tercapailah tataran yang lebih tinggi, yakni taqwa dan taqwa adalah indikator utama dari para waliyullah.

Disarikan dari buku : Mutiara ditengah Samudra
Komentar

Tampilkan

Terkini

Followers